Mungkin sudah berbulan-bulan atau bahkan hampir satu tahun lebih draft itu tidak tersentuh. Semasa di warnet, saya mengerjakan draft itu dengan tekun. Menyalin kembali draft mentah yang sudah saya ketik di warnet untuk dikembangkan di rumah. Mengirimkan tiap bab yang berhasil saya tulis kepada teman saya untuk dikomentari. Saya juga ingat saat itu teman saya dengan proyek novel solonya. Setiap minggu kami selalu membuat deadline, membuat soundtrack-soundtrack untuk draft yang akan kami kerjakan. Saling mengirim draft untuk dikomentari. Begitu seterusnya hingga akhirnya saya harus ke surabaya. Draft itu terbengkalai. Semasa di Surabaya saya hampir tidak pernah menulis. Semua seolah buntu. Saya masih stuck di bab yang sama. Selama berbulan-bulan hingga akhirnya saya memutuskan pergi ke Jakarta. Selama di Jakarta, saya masih sering berkomunikasi dengan teman saya itu. Membahas draft-draft yang tertunda, membahas perihal sharing yang dulu selalu kami lakukan melalui email atau inbox bahkan sms. Sharing yang semakin jarang terjadi setelah saya 'berpindah-pindah' tempat.

Belakangan, saya dengar kabar dari teman saya. Proyeknya yang dulu stuck di tengah jalan seperti saya. Namun bedanya, teman saya mempunyai proyek baru. Dia benar-benar menulis kembali dari nol. Mulai dari membuat outline dan sebagainya, benar-benar dimulai dari nol. Berbeda dengan saya yang masih berkutat dengan draft lama yang tak kunjung menemu titik terang.

Hingga sebuah kesempatan itu tiba. Pencarian outline itu membuat saya tergerak untuk melanjutkan draft saya yang beku. Sebagaimana saya, teman saya pun akhirnya tergerak untuk mencoba mengirim outlinenya. Dan keberuntungan ternyata berpihak pada kami. Outline kami lolos seleksi. Singkat cerita, kami diundang di workshop di Jakarta. Saya dengan draft yang tertunda, dan teman saya dengan draft baru yang dia tulis mulai dari nol.

Waktu berbulan-bulan berlalu, saya masih terus berkutat dengan draft lama. Masih mengalami kebuntuan yang sama. Di tempat sama. Apalagi setelah mendengar kabar bahwa saya harus merombak outline saya, mengirimkannya saat semua sudah terangkai rapi menjadi satu kesatuan utuh naskah yang siap dibaca. Saya menyebut ini kesempatan emas, tapi saya justru mengalami kemunduran mental. Kehilangan rasa percaya diri yang entah menguap dimana. Saya justru semakin terpuruk dengan kebuntuan yang ada. Dan teman saya bernasib sebaliknya. Dia berhasil membuat outline yang tadinya berupa draft-draft menjadi sebuah buku yang kini bisa dibaca, dinikmati, bahwa mimpinya pelan-pelan telah menjadi nyata. Karena kerja keras dan ketekunan yang tentunya tidak saya aplikasikan di dalam hidup saya selama ini.
Ternyata saya salah. Menghadapi kebuntuan dengan cara yang salah, yang justru semakin membuat kebuntuan itu bertambah menganga. Seolah akan menelan saya kapanpun dia mau.

Saya gamang bukan main karena memelihara kebuntuan mendarah daging dalam diri saya. Saya gamang ketika menyadari bahwa ternyata sayalah yang menghilangkan kesempatan-kesempatan yang datang pada saya. Melihat kesuksesan teman- teman saya, melihat satu persatu mimpi yang dulu merupakan sebuah ilusi yang kini mulai menampakkan tanda nyata, saya merenung. Bukankah saya memiliki mimpi yang sama dengan mereka beberapa tahun lalu? Dan sekarang mimpi itu belum berubah satu jengkal pun. Mimpi itu masih setia menjadi dorongan-dorongan kecil yang kerap menghantui alam bawah sadar saya, mensimulasi otak saya, mensugesti kepada otak saya bahwa saya ternyata tidak bisa hidup tanpa menulis. Saya merasa tersiksa setiap perasaan buntu menghinggapi saya, seolah jiwa saya telah mati. Kata-kata yang mulai terangkai satu-satu justru luluh. Menguap entah kemana. Dan otak saya beku..

Dengan susah payah saya menghindar, melarikan diri dari kebuntuan. 'Membuang' semua draft-draft yang tak terselesaikan. Berniat berhenti mengejar mimpi itu karena merasa sangat frustasi. Tapi, justru keputusan itulah yang perlahan saya sadari sebagai keputusan fatal. Sumber kesakitan pada apa yang saya alami selama ini, yang ternyata saya ciptakan sendiri.
Mengerikan. Sungguh.

Saya tidak pernah membayangkan akan terjebak sejauh ini pada kebuntuan. Pada lubang hitam. Pada hal mengerikan yang tidak sanggup saya bayangkan. Lalu, dengan banyak berduskusi dengan salah seorang teman, pintu hati saya mulai terbuka sedikit demi sedikit. Kebuntuan saya mencair sedikit demi sedikit. Saya mulai 'egois', saya mulai skeptis. Ya, terkadang seseorang memang perlu egois. Dan saya melakukannya. Saya berusaha menjadi diri saya sendiri. Saya berusaha menulis apa yang saya bisa, yang saya mampu. Dan pelan, cahaya berpendar sedikit demi sedikit. Meski bertahap, saya mulai bisa menemukan kembalibdunia saya yang hilang, kebebasan saya, sesuatu yang saya yakini sejak dulu. Bahwa tanpa menulis, saya tidak lebih dari seonggok manusia tak berguna. Ya, saya mencintai kata. Sebagaimana saya mencintai dunia di dalamnya. Dunia yang saya anggap sebagai jalan saya kelak dan Tuhan ridho akan hal itu. Saya gembira bukan main. Sesuatu menyeruak dalam dada saya, membuat saya merasa lega. Merasa bebas.

*

Saya merindukan saat-saat dimana saya bertukar cerita dengan teman saya, mengomentari satu sama lain. Saling memberikan dukungan. Moment itu terpatri jelas di benak saya. Di otak saya. Dan hari ini kembali saya buka draft lama saya yang tertunda itu. Membacanya sekilas. Beberapa tokoh kembali menari di dalam benak saya, meminta untuk dibebaskan dari dalam labirin yang selama ini mengurung mereka semua. Saya sudah kadung jatuh hati dengan tokoh saya itu. Dan cerita di dalamnya.
Dan mungkin saya akan menyimpan draft itu sebagai bagian dari proses belajar saya. Menyimpan untuk menuliskannya ulang. Sudah saatnya mereka berhak merdeka.

Jakarta, Agustus 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6