Kugy (Maudy Ayundia) bercita-cita ingin menjadi juru dongeng, sementara Keenan (Adipati Dolken) bercita-cita ingin menjadi pelukis. Mereka berdua bertemu di stasiun kereta saat kebetulan Eko (Fauzan Smith) dan Noni (Sylvia Fully) mengajak Kugy menjemput Keenan yang barusaja pulang dari Amsterdam.
Chemistry dan ketertarikan Kugy dan Keenan bermula saat Kugy menyerahkan buku dongengnya kepada Keenan sementara Keenan membuatkan ilustrasi dari cerita-cerita yang dibuat Kugy.

Bercerita tentang percintaan diam-diam antara Kugy dan Keenan (yang sama-sama hadir di saat yang tidak tepat) ini terbalut kisah persahabatan dan konflik yang apik.

Setelah beberapa hari ini saya keracunan Perahu Kertas dan sempat melihat treasernya di youtube, akhirnya hari ini saya diberi kesempatan untuk menontonnya. Entah, saya tidak tahu apa yang ada di pikiran Hanung ketika memvisualisasikan novel setebal 444 halaman itu menjadi sebuah film. Rasanya memang mustahil mengadaptasi utuh adegan demi adegan di dalam novel ke sebuah film berdurasi sekian jam saja. Sehingga pihak produksi harus rela memangkas beberapa adegan dan membuat film ini menjadi dua chapter.

Sebenarnya tidak masalah bagi saya jikalaupun film ini memang harus dibagi menjadi dua chapter, asal eksekusinya yang mengagumkan
Namun sepertinya, eksekusi dari film ini tidak menimbulkan 'greget' sama sekali. Hal itu terbukti sejak adegan pembuka hingga film mulai memasuki fase-fase ending. Banyak adegan di dalam novel yang sebenarnya sangat ingin saya lihat di dalam film justru tidak ditampilkan. Seperti adegan saat Kugy memanggil nama Keenan melalui sebuah mikrofon di stasiun. Adegan saat Kugy dan Keenan sama-sama terjebak di Stasiun Citatah saat kereta mengalami anjlok. Insiden pisang susu. Rencana pencomblangan Keenan dan Wanda (Kimberly Rider) yang disambut ekspresi 'penolakan' oleh Kugy. Percakapan Keenan dan Kugy saat tahun baru, sosok Mas Itok yang tidak dimunculkan, Pelukan Eko dan Kugy di sidang skripsi Kugy yang menyebabkan konflik antara Noni dan Kugy semakin meruncing, dan masih banyak lagi.

Banyaknya adegan yang terpotong, entah kenapa justru membuat sosok Kugy dan Keenan kehilangan chemistrynya. Padahal di novelnya, tokoh Kugy dan Keenan mempunyai chemistry yang terjalin cukup baik sekali. Plot di dalam novel yang teratur membuat jalan cerita dan konflik-konflik yang runtut. Chemistry kedua tokoh terjalin melalui impian mereka dan keanehan-keanehan mereka yang membuat dunia mereka berdua begitu mengagumkan. Namun, di dalam film, saya hanya melihat dari sudut pandang Kugy saja. Sebagaimana hanya Kugy yang mendapat perhatian ekstra. Narasi-narasi yang Kugy ceritakan cukup bisa membuat saya bernafas lega. Setidaknya, sosok Kugy benar-benar hidup melalui narasi-narasi yang apik, meski kenyataannya saya kurang bisa menemukan karakter Kugy di dalam peran Maudy yang terbilang baik. Sebaliknya, peran Adipati -entah kenapa- belum bisa menggambarkan sosok Keenan yang selama ini meledak di dalam kepala saya. Jika Kugy selalu mendapat sorotan di sepanjang film ini, Keenan seolah hanya menjadi pemeran pendukung. Padahal di dalam novel, kita semua tahu bahwa Keenan dan Kugy memiliki porsi yang sama. Mereka adalah tokoh utama yang sentral. Sumber konflik yang menyebabkan cerita bergerak dari satu bab ke bab yang lain.

Banyaknya adegan yang terpotong dan banyaknya adegan yang digabungkan secara paksa di bagian yang bukan tempatnya, membuat saya mengerutkan dahi. Tim produksi seperti berusaha keras menyambungkan plot demi plot dengan alur yang melompat-lompat, namun seringkali membuat penjiwaan karakter itu terasa kurang sekali dan membuat cerita yang dibangun seolah 'maksa' dan buru-buru agar secepatnya bisa sampai ke konflik lalu ending, selebihnya tidak memberikan kesan apa-apa. Seperti saat Kugy dan Noni tiba-tiba berseteru, dan Keenan yang mulai kehilangan impiannya lalu memutuskan ke Bali. Saya berharap di chapter itu, penjiwaan kedua tokoh lebih ditonjolkan lagi. Jujur, saat membaca novelnya, bagian itulah yang membuat saya 'susah bernafas'. Dimana Kugy yang merasa serba salah atas perasaannya pada Keenan, sementara Kugy yang ternyata memiliki kekasih bernama Ojos (Diyon Wiyoko). Hal yang sama terjadi pada Keenan saat mulai dekat dengan Luhde. Konflik akibat kesalahpahaman yang pada akhirnya membuat hubungan empat sekawan itu berubah. Tak lagi sama. Konflik batin antara Kugy dan Noni yang membuat dia menjauhi Noni.

Dan terlebih, kehadiran Hanung sebagai cameo, terlihat sangat aneh dan lucu :|
Saya ingat, dia juga pernah menjadi cameo di filmnya sendiri : Lentera Merah. Saya kurang tahu, kebiasaannya menjadi cameo di film-film buatannya itu semacam obsesi terpendam atau memang kekurangan peran sebagai cameo, sama sekali bukan masalah saya. :p

Film ini seperti sengaja mengejar durasi namun caranya kurang tepat.

Alhasil, separuh perjalanan menonton film ini, saya kebosanan. Apa yang saya bayangkan sangat jauh berbeda dengan apa yang saya baca.

Mendekati ending, jalan cerita mulai menemukan muaranya. Keenan tidak sengaja bertemu lagi dengan Kugy di acara nikah Noni dan Eko.

Jika di awal seperti buru-buru, menjelang ending justru terkesan lebih stabil. Jalan cerita sudah lebih runtut namun ada satu hal yang membuat saya mengerutkan dahi. Di dalam film, Eko dan Noni memutuskan menikah, padahal di novel, mereka hanya berencana tunangan saja, bukan? :|
Entahlah, bagian ini berpengaruh atau tidak. Tapi sebagai penonton film yang diadaptasi dari novel yang kebetulan saya baca juga, saya mengharap film ini tidak jauh beda dengan apa yang ada di dalam novel. Mungkin sang sutradara memang hobi sekali membuat adegan-adegan yang melenceng dari isi dari novel itu sendiri. Namun adegan ini seolah membawa angin segar. Adegan Eko yang salah mengucap ijab kabul membuat saya terpingkal. Dan sejauh ini, saya menganggap peran Fauzan Smith sebagai Eko adalah peran yang paling konsisten. Humor-humor cuek khas Eko seolah menjadi pengobat rasa kantuk saat menonton film ini, Fauzan memerankan Eko dengan sangat baik. Di samping peran Eko, saya memuji penampilan Reza Rahardian yang memerankan Remigius yang berkarisma dan berwibawa. Lalu, peran Luhde oleh Elyzia Mulachea yang menunjukkan gadis Bali yang pemalu.

Dan sepertinya saya harus melupakan novel aslinya saat melihat film ini. Karena bagaimanapun juga, film ini berbeda dengan novelnya dan ekspektasi saya justru sangat jauh berbeda dibandingkan menebak-nebak ending novelnya yang ternyata juga membuat saya kurang puas. Meski film ini pada akhirnya membuat saya kecewa, saya tetap mengapresiasi film ini sebagai sebuah karya seni. Jauh dari kekurangan-kekurangan yang saya rasakan, film ini memiliki tata cahaya yang menurut saya bagus. Suara yang jernih, pemilihan setting yang bagus dan tentusaja soundtrack yang ditata sedemikian apik. Satu-satunya hal yang menolong saya dari kebosanan menontonnya. Bagian favorit saya adalah, saat permulaan yang menunjukkan kapal Kugy yang mengambang di tengah laut. Menurut saya itu eksotis :D Dan saya baru sadar, ternyata format film episode pertama ini dibuat flashback dengan menyisipkan peristiwa-peristiwa sebagai kenangan Kugy di ending cerita. Dan mungkin karena alasan itulah kenapa film hanya menyorot satu sosok Kugy saja, bukan Kugy dan Keenan.

Terlepas dari itu semua, saya tetap menunggu chapter selanjutnya. Semoga bisa lebih baik dari chapter pertama. Yang jelas saya penasaran dengan lanjutannya. :)

Jakarta, Agustus 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6