Dari bandara Gardermoen, Oslo,  penerbangan ke Indonesia mengalami dua kali transit di London dan Hongkong. Setelah melewati perjalanan selama kurang lebih dua puluh jam akhirnya aku bisa menginjakkan kaki di Soekarno-Hatta. Lagi.

Hujan menyambut kedatanganku kali ini, menawarkan suasana sendu yang sudah membekas sejak aku di Norwegia. Taxi yang kutumpangi melaju lambat karena macet di seputaran Slipi. Tidak banyak yang kukatakan. Hanya terdengar sayup-sayup suara klakson yang beradu dengan gemericik hujan di luar sana. Jakarta masih semacet biasanya. Kali ini taxi membisu, menuju tempat yang jauh ke selatan Jakarta. Kemang. Ke rumah yang mulai terasa asing dan dingin.

*

Aku memutuskan pulang lebih lambat dari kepulangan Pujia ke Indonesia  Setelah pertemuan di kedai sushi beberapa minggu yang lalu, kami kembali bercakap lewat telepon. Ia hanya mengabarkan jika Ayah mengalami sakit yang cukup serius, sementara aku tidak membicarakan perihal surat Bibi Marie yang membuatku mengetahui kabar itu sebelum Pujia menelfon. Bibi Marie adalah saudara Ibuku yang menetap di Cirebon. Semenjak ibu meninggal dan semenjak aku menghilang ke luar negeri, aku seperti menghilang dari jejak keluarga besarku di Jakarta. Aku merasa keputusan untuk mengubur kenangan di Norwegia adalah keputusan yang tepat. Tidak ada yang perlu diingat, keluarga yang seolah nampak baik-baik saja meski pada akhirnya terlihat berantakan. Masa lalu yang tidak lagi sama serta banyak lagi kenangan yang membuat aku terluka.

Bibi Marie menyayangiku. Ia wanita yang malang. Di usia lima tahun pernikahannya bersama Anton, bibi Marie belum juga diberkahi anak. Itulah yang membuatnya menyayangiku lebih dari anaknya sendiri. Dan ia kerap memaksaku untuk tinggal di rumahnya setelah Ibu meninggal. Saat itu, aku menolak dengan halus. Aku merasa tidak ada yang perlu dipertahankan kembali sepeninggal Ibu. Ayahku, sudah bahagia dengan Pujia dan juga anak Pujia yang lahir jauh sebelum aku ada di dunia ini. Entah bagaimana caranya, mereka bisa menyembunyikan rahasia itu rapat-rapat. Membuat luka yang sebenarnya menganga lebar menjadi sebuah luka ringan yang kemudian tidak membekas. Aku kecewa dan marah. Untuk itulah aku memutuskan pergi.

Tahun-tahun pertama aku memutuskan kuliah di Norwegia, Ayah masih rajin mengirimiku surat. Mengirimiku gambar-gambar lukisannya yang berhasil ia selesaikan. Meski aku sangat membenci Ayah, sesungguhnya surat yang datang dari Ayah mampu mengusir sedikit kesepianku. Lambat laun, aku mulai merindukan suratnya ketika Ayah -entah sudah berapa lama, tidak pernah lagi mengirimiku surat.

Hujan membuat segalanya terlihat jelas. Kenangan-kenangan di suatu sore di teras rumah saat Ayah menikmati biskuit gandum kesukaannya. Kenangan tentang masa kecil yang baik-baik saja. Kenangan di suatu siang, ketika hujan deras mengguyur Norwegia, entah perasaan apa yang saat itu membuat nama Ayah menghiasi ponselku.

"Hallo?"

"Hallo An," hening yang bisu membuat tenggorokanku tercekat. "Bagaimana kabarmu, Nak? Kau sehat?"

Lalu, sebelum aku sempat menjawab pertanyaan Ayah, kulihat layar ponselku telah menghitam. Baterai lemah. Dan aku kembali dalam perasaan sunyi yang dalam bersama dengungan-dengungan suara Ayah yang masih membekas seiring bulir bening hangat yang tiba-tiba saja melumer di pipiku.

*

Melalui telepon siang itu, Pujia bilang, ia akan kembali lagi ke Indonesia dalam waktu beberapa hari ke depan. Sesungguhnya, aku tidak mengharapkan kedatangan wanita itu di Norwegia. Dan aku tentu tidak akan menginjakkan kaki bersama wanita itu di Jakarta. Aku bertekad, selepas urusanku selesai di Indonesia, aku akan cepat kembali ke Norwegia.

Namun sesuatu membuyarkan lamunanku. Ponselku berdering. Mendadak hujan di dalam taxi menjadi pemandangan yang tidak menarik lagi setelah sayup suara Bibi Marie terisak dari seberang telingaku.

"An.. kau dimana? Ayahmu... ayahmu meninggal."

Ada sesuatu yang menghujam dadaku. Semua seolah mendadak kebas. Aku tidak bereaksi apa-apa hingga akhirnya aku tak mampu menerima telepon dari Bibi Marie.

Entah apa yang menggelayuti pikiranku, aku tenggelam dalam kesunyianku sendiri. Meratapi sesuatu yang seperti terlambat untuk dikatakan. Dan air mata itu kembali mencair tanpa kuminta.

Jakarta, Agustus 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6