Arne


Salju pertama di bulan Desember mulai turun seperti kapas. Membawa hawa dingin yang membuatku malas beranjak dari tempat tidur. Ini masih terlalu dini. Namun migrain yang tiba-tiba menyerang kepalaku memaksaku untuk mengambil air putih di lemari pendingin dan beberapa butir aspirin.

Aku menyibak korden berwarna krem yang menyelimuti jendela lebar di pojok ruangan apartemen. Salju yang putih mulai menyelimuti kota seperti hamparan awan. Tidak terasa sudah Desember. Dan tidak terasa sudah beberapa tahun ini aku merayakan Natalku sendiri.

Aku mendesah. Meletakkan sisa air putih di meja kerja yang berada di dekat jendela. Membiarkan salju-salju itu menjadi pemandangan yang menghiasi jendela lebar itu. Salju dan Natal tiba-tiba mengingatkanku pada Ibu dan segala kenanganku di Indonesia.

Hening. Senyap. Dan ternyata suasana itulah yang menemaniku selama ini. Yang sertamerta membuatku melarikan diri. Yang memaksaku melakukan kesibukan sebagaimana tubuhku masih mampu melakukannya. Hingga baru sekarang aku menyadarinya. Suasana itu yang ternyata kuhindari selama ini. Suasana kesepian yang membuat slide-slide kenangan terputar jelas di kepalaku.
Seketika nafasku mendadak berat dan segalanya tumpah ruah menjadi butiran hangat yang melumer di wajahku. Dan aku membiarkannya.

***

Len


"Aku tidak tertarik dengan warisan!" Aku menegaskan kalimatku di ujung telepon. Suara Pujia tidak kalah serunya dengan suaraku. Setelah pertemuan di kedai sushi yang membuatku meninggalkannya secara sepihak, kini kami harus melanjutkan pertengkaran di ujung telepon.

"Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan warisan."

Kemudian kudengar Pujia yang berbicara panjang lebar hingga suaranya serak dan terletan oleh air mata. Aku tercenung cukup lama. Entah kenapa aku merasa darahku ikut membeku. Aku merasa air matanya bukanlah kebohongan, melainkan sebuah air mata kesedihan yang berusaha ia tahan selama ini. Aku diam, membiarkan kebisuan menyelimuti sekelilingku. Membiarkan air matanya mengambil alih atas percakapan kami. Sesuatu tiba-tiba saja menyentak dadaku. Ini kali pertama ia memaksaku berfikir. Dan pikiran utama yang membayangiku saat ini adalah : pulang ke Indonesia.

***

Arne


Dulu, ayahku adalah seorang pelukis. Yang setiap kali harus berkutat dengan cat dan peralatan melukis yang membuat bajunya kotor oleh warna-warna. Setiap pagi, aku selalu menemaninya menggoreskan kuas ke atas kanvas di halaman belakang rumah. Setiap pagi aku mencium aroma cat minyak yang khas hingga aku terbiasa dengannya. Itu adalah momen-momen berharga yang membuat pagiku selalu berwarna, setidaknya sebelum semuanya berubah buram. Dan ekspektasiku kepada ayah berubah sekian derajat. Ayah yang semula menjadi sosok yang sangat kukagumi, tiba-tiba menjadi sosok yang sangat kubenci.

Pertengkaran malam itu menyisakan lebam di pipi Ibu. Suatu pagi, aku tidak mendapat Ayah yang biasa melukis di halaman belakang rumah. Justru aku melihat segalanya telah bersih. Semua peralatan melukisnya sudah tidak membekas satupun di rumah. Kata Ibu, Ayah pergi ke luar kota dalam jangka waktu lama. Namun, selama bertahun-tahun aku menunggu, Ayah tak juga kembali. Hanya surat-suratnya yang kuterima diam-diam lewat tetangga samping rumah. Katanya, jangan sampai Ibu tahu.

Di suratnya Ayah bercerita panjang lebar. Ia merindukanku. Ia menanyakan kabarku. Ia meminta maaf karena meninggalkanku tanpa pamit. Ia mengabarkan bahwa lukisannya masuk galeri. Ia mengabarkan semuanya, termasuk kabar tentang nama asing yang mulai menghantui telingaku. Beberapa tahun, hingga aku dewasa, lewat surat-surat itulah aku berbicara dengan Ayah. Menyembunyikan kebohongan dari Ibu yang sejak saat itu tampak muram. Hingga pada suatu ketika, aku mengetahui semuanya, perihal kenyataan yang disembunyikan orang tuaku sendiri. Saat aku dewasa yang membuat penilaianku kepada Ayah berubah drastis. Bahwasanya Ayah tidak keluar kota, tapi Ayah kembali pada wanita masa lalunya. Yang kemudian kukenal sebagai : Pujia.

***

Len


Aku menyanggupi ajakan Pujia untuk bertemu kedua kalinya di kedai yang berbeda. Kali ini aku memilih kedai kopi yang terletak lumayan jauh dari apartemen dan tempatku bekerja. Salju turun belum terlalu deras, namun musim dingin di Norwegia selalu memaksaku mengenakan pakaian lebih tebal.

Berbeda dengan pertemuanku sebelumnya, kali ini Pujia datang lebih awal. Di sebuah sudut di dekat jendela, ia duduk sambil sesekali melamun. Ia mengenakan mantel berbulu warna hitam. Kacamata tebal dan memasang hesdset di telinga. Rambutnya membentuk gelungan seperti biasanya.

"Kau sudah datang?" Ia tampak terkejut menyadari kedatanganku. Dilepasnya kacamata dan headset itu. Tatapannya berubah fokus. Hanya kepadaku.

"Maaf aku terlambat. Alarmnku tidak bekerja dengan baik pagi ini." Aku mengambil duduk di depannya.

"Mau pesan apa?"

"Apapun yang menghangatkan."

Lalu beberapa menit kemudian, dua cangkir latte menghiasi meja kami.

"Maaf, Len. Aku tidak pernah memaksamu melakukan ini." Suara Pujia menggantung di udara.

"Anggap saja ini kewajibanku sebagai anak, Pujia."

"Apa kau belum bisa memaafkanku?" ia berkata seolah-olah ia manusia paling bersalah di muka bumi ini.

"Aku sudah memaafkanmu, Pujia. Jauh sebelum kau meminta maaf padaku." Aku menekan kalimatku dan menyesap latte itu. Asap tipis mengepul di udara. Kulihat, Pujia tak benar-benar menatap ke mataku. Ia tampak kikuk. Hal yang sama terjadi padaku.

"Kau sudah mempertimbangkannya, Len?"

Aku diam sejenak. Menyulut rokok yang terasa hambar. Ini rokok pertama sejak beberapa bulan yang lalu aku memutuskan berhenti. Dan kembali, aku harus menelan janjiku. Rokok itu sudah menghasilkan asap putih yang sertamerta hilang. Entah kemana.

Aku mengangguk. "Sudah kuputuskan..." Suaraku menggantung. "Aku akan ikut denganmu ke Indonesia."

Jawaban yang mencekat tenggorokanku itu disambut senyum simpul di bibir Pujia. Dengan sigap, ia lantas memegang tanganku dengan tangannya yang hangat. Aku membiarkan pelukannya mengambur di tubuhku. Sejenak, aku tenggelam dalam hangat yang ia ciptakan. Hangat yang entah sudah berapa tahun hilang dari hidupku. Hangat seorang Ibu.

Jakarta, Agustus 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6