Pagi hari. Selepas hujan di pertengahan bulan September. Untuk pertama kalinya aku menerima sebuah surat dan sebuah kartu pos dari London. Surat itu dikirimkan oleh seorang yang tidak sengaja kukenal lewat dunia maya yang lantas kutemui beberapa waktu lalu. Namanya Gilang. 

Akan kuceritakan sedikit.

Gilang, yeah, lelaki maniak Fitzgerald itu kukenal lewat akun fanpage yang sama di Facebook. Memakai foto profil penulis itu dan secara tidak sengaja dia mengirimiku pesan singkat yang memberitahukan bahwa dia mempunyai buku Orwell yang selamaini kucari-cari. Entah aku yang sinting, atau dia yang gila. Aku mencari buku Orwell di fanpage Fitzgerald dan menemukan satu alien terdampar di inbox-ku dan alien itu menanggapi permintaanku di sebuah komentar yang sengaja kutinggalkan. Parahnya, dengan mengatasnamakan Orwell, alien itu mengajakku bertemu di Galeri Nasional di kawasan Gambir. Demi Orwell dan―kurasa aku harus meminta maaf pada Orwell, baru kali ini aku bertemu seorang maniak sastra di galeri seni rupa. Ini tidak lucu, kecuali jika dia juga pengagum berat Piccaso atau Monet atau Dali atau sederetan nama pelukis beraliran abstrak dan surealis yang sama sekali tidak kumengerti.


Aku lupa kapan tepatnya, tapi aku ingat, hari itu mendung. Hujan nyaris turun tapi hanya berupa gerimis. Aku mengenakan rok lipit sebatas lutut dan sepatu flat warna ungu muda ketika memasuki galeri. Di galeri itu terpampang banyak sekali karya seni rupa dan segala cabangnya. Dari sekian banyak lukisan yang kulihat, beberapa lukisan kukenal sebagai karya Affandi dan Basoeki Abdullah, pelukis Indonesia yang terkenal itu. Mustahil, si alien itu juga maniak seni rupa. Kalau pun iya, berarti dia seniman sejati yang ‘kelewat sinting’. Bukankah, orang seni selalu identik dengan orang sinting? Oke, lupakan bahasan itu dan fokus kembali bertemu dengan Gilang dan tentu saja harapan bahwa dia akan membawa buku Orwell yang kucari itu.

Sebelum berangkat ke galeri, aku tidak mengirim satu intruksi pun kepada Gilang tentang ciri-ciriku pun aku akan menunggu di mana. Aku juga tidak memintanomor ponsselnya. Hal yang sama juga dilakukan Gilang padaku. Lelaki itu seolah tidak serius dengan ucapannya yang mengatakan bahwa dia akan menemuiku di galeri. Jadi kupikir, akulah yang sekarang sinting karena terlalu gampang percaya pada orang asing yang belumsekalipun kutemui. Dan ironisnya, kukenal lewat dunia maya! Demi Tuhan, aku jadi membayangkan sesuatu yang tidak-tidak, perihal kejahatan-kejahatan yang marak terjadi karena Facebook. Mendadak aku merasa ketakutan dan bermacam tanda tanya menggelayuti pikiranku. Kalau dipikir dengan logika, ini jelas diluar nalar. Aku jadi memikirkan banyak kemungkinan yang sebelumnya tidak terpikir olehku. Bagaimana jika orang yang mengaku Gilang ternyata adalah seorang Elf Knight yang menculik Lady Isabel?

Sejenak kemudian, semua keraguan itu musnah begitu saja, meski belum sepenuhnya. Tidak seperti alien yang matanya lebar dan bentuknya aneh, atau elf yang bertelinga lancip. Lelaki yang lebih dulu menyapaku itu masih seperti manusia normal pada umumnya. Dengan mengenakan topi fedora abu-abu kecoklatan yang sudah kelewat buluk, ia berkata, “Kau Arn? Yang mencari Orwell?”

Dalam sejarah, aku akan mencatat pertemuan pertama ini.

“Apa kau Gilang? Maaf jika aku salah terka, aku tidak menemukan satu lembar pun fotomu di Facebook.”

Lelaki itu mengangguk dan itu membuatku sedikit lega. Setidaknya dia tidak seperti asumsiku di awal tadi.

“Kau tampak normal.” Aku keceplosan.

“Maksudmu?”

“Ah, tidak. Bukan apa-apa.” Lalu, setelah melakukan ritual kenalan yang basa-basi itu, aku dan Gilang memutuskan berjalan-jalan sebentar mengunjungi galeri. Kami tidak membahas karya Picasso ataupun Da Vinci, melainkan membahas tentang Hemingway, Orwell, Camus, Kafka, Dickens dan banyak lagi. Gilang tahu banyak buku yang belum sempat kubaca, bahkan riwayat penulisnya. Kurasa, dia memang mengkonsumsi sastra klasik sejak masih bayi. Belakangan, aku tahu jika dia juga seorang penulis―meskipun dia bercerita jika tulisannya belum juga beralih dari bab tujuh. Lebih tepatnya penulis roman yang tidak mempunyai ambisi. Bagaimana tidak, dengan sikap santainya itu, dia justru terlihat inosen dan masa bodoh tentang mimpinya. Tapi, meskipun begitu, dalam jarak entah berapa menit itu, aku mulai mengaguminya Dan dalam waktu sedekat itu, perlahan aku mulai mengenalnya. Gilang, bukan alien ataupun elf. Dia tak lebih dari manusia normal pada umumnya, dan yang membuatnya terlihat berbeda adalah dia adalah maniak sastra yang akan mengambil kuliah di fakultas teknik, lebih tepatnya Teknik Sipil. Sinting!

Kesimpulanku, Gilang itu sinting! Tapi menarik.

Demi Orwell, aku tidak serius mengatakan kalimat terakhir itu.

“Buku ini kurekomendasikan.” Gilang menyerahkan buku berjudul 1984 itu kepadaku.

“Untuk itulah aku mencarinya.”

“Lain waktu kau harus membaca Burmese Days. Aku sedang mencari cetakan pertamanya.”

“Kau memang sinting. Di mana kau bisa dapat buku itu cetakan pertama?”

Gilang terkekeh. Sebelum aku bertanya-tanya lebih jauh mengenai Burmese Days yang Gilang bilang itu, seorang gadis tiba-tiba berteriak dari kejauhan.

“Gilang, sedang apa kau di situ? Aku mencarimu kemana-mana.”

Gilang mengenalkan gadis itu kepadaku. Namanya Ning. Dalam jeda yang panjang itu, aku menangkap mata Gilang yang tak lepas dari sosok Ning. Awalnya aku tidak sadar. Tapi seiring kedekatan yang terjalin di antara kami setelah pertemuan itu, belakangan, melalui cerita-cerita Gilang lewat Yahoo! Messenger, aku tahu jika Ning memutuskan menuntut ilmu di Royal College of Art di London dan bekerja di Tate Modern, sebuah galeri terbesar di negeri Elizabeth itu. Semula kuanggap itu tidak berpengaruh apa-apa bagi Gilang dan semula aku hanya menganggap hubungan Gilang dan Ning tak lebih dari hubungan sahabat yang tumbuh secara bersama-sama. Tapi melalui surat yang kuterima pagi tadi, aku baru mengerti kenapa Gilang akhirnya nekat pergi ke London. Dan kenapa Ning begitu berarti baginya.



*
Sebelum aku menulis lebih jauh, aku ingin bertanya padamu. Apa kau percaya dengan peri hujan yang membawa keajaiban cinta?

Itu kalimat pembuka yang picisan kurasa. Sejak kapan Gilang berubah melankolis begitu?

Mari berjalan di sepanjang Sungai Thames, dalam rintik gerimis dan gemilang cahaya dari London Eye.

Aku membaca kalimat awal itu, dalam pembuka surat yang amplopnya berwarna maroon. Sementara kartu pos yang kuterima bergambar Menara London, lengkap dengan Tower Bridge yang menjulang di atas Sungai Thames.

Di situlah aku menemukan keajaiban cintaku, Arn. Dan barangkali, kau berniat pergi ke London untuk menemukan keajaiban cintamu?

Ada emoticon tongue di ujung kalimatnya. Dan ledekannya itu membuat mukaku panas. Aku memutuskan melanjutkan membaca.

Demi Tuhan, aku tidak pernah membayangkan akan melakukan perjalanan bermil-mil dengan alasan di luar logika. Menjemput cinta! Omong kosong macam apa itu, hah? Sungguh, demi George Orwell yang kau idam-idamkan itu, aku melarangmu tertawa Arn.

Oh, baiklah, barangkali kau tertawa sekarang dan terheran-heran kenapa aku bisa terdampar jauh di London. Jangankan kau. Aku saja masih tidak percaya dengan ucapanku di Bureau beberapa waktu lalu. Ya, ini semua berawal dari Bureau, beberapa gelas Jack Daniel’s dan tentu saja para alien yang telah menghasutku. Kau tahu, pemabuk mana yang tidak merancau? Dan kurasa aku terporovokasi para alien sialan itu―siapa lagi kalau bukan Dee, Dum, Brutus dan Hyde, dalam kondisi mabuk.

Aku menyanggupi akan menemui Ning di London untuk menyatakan cintaku. Ini awalnya.

Aku ingat, aku sendiri yang mengatakannya dalam kondisi mabuk. Catat: dalam kondisi mabuk! Itu artinya, aku mengatakannya dalam kondisi setengah sadar dan sialnya para alien itu benar-benar menganggap serius ucapanku.

Aku mengalah. Ini keputusanku. Apapun yang terjadi, aku akan mengejar Ning dan mengungkapkan perasaanku. Aku tidak ingin hidup sebagai pecundang selamanya. Dan tekad itulah yang akhirnya membawaku, meyakinkanku bahwa aku mampu. Seperti seorang pungguk, perjalananku ke bulan ini penuh dengan harapan, harapan pulalah satu-satunya hal yang memberikanku kekuatan. Aku tidak bisa membayangkan, apa jadinya jika aku kehilangan harapan itu.

Perjalanan mendebarkan selama kurang lebih seminggu ini akhirnya dimulai. Aku menginap di Windmill Sreet, kurang lebih berjarak seratus meter dari Colville Place, Charlotte Street, tempat indekos Ning selama di London. Berdasarkan instruksi dari seseorang yang kutemui di pesawat, ide buruk jika menggunakan taksi dari Heathrow ke daerah itu. Maka dia menyarankan padaku untuk naik underground―semacam kereta bawah tanah di London, yang mengarah ke Leicester Square lalu melanjutkan perjalanan dengan bus dan turun di Tottenham Court Road. Aku memanggil orang itu dengan sebutan V, itu karena dagunya yang runcing mengingatkanku pada topeng Guy Fawkes dalam V for Vendetta. Aku bicara tidak terlalu banyak dengan orang itu. Sementara dia bercerita tentang mantan istrinya yang jelas-jelas membuatku canggung.

Sesampainya di Heathrow, aku dan V berpisah. Seperti tidak ingin kehilangan banyak waktu, aku memutuskan untuk pergi ke rumah Ning. Dan, sungguh, ini tidak semudah dugaanmu, Arn. Saat masih di Jakarta, aku berandai-andai Ning akan terkejut dengan kedatanganku. Memelukku. Dan aku akan menggenggam tangannya di bawah langit musim gugur London yang syahdu, kemudian menyatakan cintaku. Lantas, dia akan mengatakan ‘iya’ dan kami bahagia selamanya. Wanita mana sih yang tidak terpikat dengan pengorbanan lelaki yang rela jauh-jauh datang demi menyatakan cinta? Tapi, sekali lagi kukatakan, tidak semudah itu.

Alhasil akan terkejut dengan kedatanganku, akulah yang justru dibuat terkejut olehnya. Rumah Ning kosong. Salah seorang tetangganya bilang jika Ning pergi membawa koper. Mendadak aku jadi ragu dan skeptis. Bagaimana jika Ning tidak kembali sampai batas waktuku di London habis? Bagaimana jika kepergianku ke London akan sia-sia?

Entahlah, aku tidak ingin membayangkannya.

Setelah menemukan bahwa Ning tidak akan kembali dalam waktu dekat, aku memutuskan pergi ke penginapan. Penginapan itu bernama Madge, tidak terlalu besar memang, tapi lumayan untuk tempat tinggal selama aku di London. Sang pemilik, Madam Ellis, menginstruksikan tentang banyak hal terkait penginapan dan tarif makan tambahan. Demi Tuhan, perempuan itu tidak bersikap baik kepada pelanggan. Dia tidak ramah dan jarang tersenyum. Tapi beruntung ada Ed, asistennya yang berdarah India itu, yang agak cerewet dan suka ikut campur urusan orang. Dari Ed, aku mendapat petunjuk untuk bisa pergi ke Tate Modern, tempat Ning bekerja. Tapi sayang, kata Ed, berkunjung ke Tate Modern di atas jam enam sore itu bukan waktu yang tepat sebab galeri itu biasa tutup tepat pukul enam. Tapi dia tidak habis pikir. Karena menganggapku turis, dia merekomendasikan tempat-tempat menarik di London. Katanya, aku bisa pergi ke stasiun Waterloo, pergi ke Southbank dan naik London Eye yang terkenal itu. Dia juga berkata, jika aku butuh hiburan malam, aku bisa pergi ke sudut Windmill Street, di sana ada sebuah pub bernama Fitzroy Tavern.

Malam itu juga selepas makan malam, kuputuskan untuk mengunjungi Fitztroy Tavern. Tapi, aku tidak akan mengulangi kebodohanku di Jakarta. Mabuk, terlebih di negeri orang. Kecuali jika itu sangat mendesak, saat patah hati misalnya, hahaha. Tapi suasana ramai di Fitztroy Tavern membuatku malas. Untuk itulah aku memutuskan naik underground, pergi ke Southbank dan mengunjungi London Eye.

Aku bermasalah dengan ketinggian. Cuma kau yang kuberitahu, Arn, dan berjanjilah tidak akan memberitahu siapapun. Semula, dari Waterloo, London Eye terlihat sangat indah dan kecil, menyerupai lingkaran penuh dengan warna-warna lampu yang semarak. Tapi begitu kudekati, aku harus menelan ludah berkali-kali. London Eye menjulang lebih tinggi berlipat-lipat dari bianglala yang biasa aku―atau bahkan kita temui di Dunia Fantasi.

Kau tahu, Arn, saat aku hendak mengabadikan momen London Eye yang megah menggunakan DSLR yang kupinjam dari Dee, hujan serta merta turun. Sial! Dan seorang gadis kaukasoid bermata biru terang dan berkulit pucat serta berbibir merah seperti selai stroberi itu mucul tanpa terduga. Rambutnya ikal, coklat muda keemasan. Dia lantas membuka payungnya yang berwarna merah seperti bus dan telepon umum yang ada di London, melindungi dirinya dari terpaan hujan yang tidak terlalu deras itu, kemudian menawarkan payungnya untukku. Aku mungkin memang tipe lelaki yang tidak bisa berkutik di hadapan perempuan, dan itu terbukti malam ini. Meskipun aku terkejut dengan ucapanku sendiri, aku membiarkan saja payung merah itu menaungi kami berdua. Tanpa terduga pula, dia mengajakku menaiki London Eye yang menakutkan itu. Dan lagi-lagi aku mengiyakan ajakannya. Bahkan semua perkataannya kuturuti. Sinting!

Gadis itu benar-benar membuatku hilang kendali. Dan saat hujan hendak berhenti, gadis itu cepat-cepat berlalu seolah dia telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Aku sempat mengejarnya, namun kerumunan orang yang menyesaki sepanjang pintu keluar London Eye membuatku kehilangan gadis itu. Saat itu hujan telah berhenti dan aku telah kehilangan gadis itu.

Kebersamaan singkat di London Eye itu meninggalkan degup jantung yang tidak beraturan. Sesaat setelah aku sadar, aku menggenggam sesuatu di tanganku. Sebuah payung merah yang lupa kukembalikan.

Barangkali kau pernah membaca dongeng Goldilocks dan Tiga Beruang?

Ya, mulai sekarang aku akan memanggil gadis itu sebagai Goldilocks. Dan payung merah yang dia tinggalkan itu menjadi penentu semuanya. Bermula dari sinilah, petualanganku di London dimulai. Dan perjuangan cintaku yang sesungguhnya terjadi. Semoga kau penasaran, aku akan memulai ceritanya besok pagi.


Cheers!
Gilang

Sial! Penulis sinting itu seenaknya saja mengakhiri suratnya!




Jakarta, Juli 2013