Ini surat pertamaku.

Hei, kau, apa kau pernah merasa jatuh cinta? Kupikir jatuh cinta itu hanya bisa dialami oleh gadis-gadis di manga yang kubaca. Tapi ternyata aku salah.

*

Untuk sampai ke Perpustakaan Nasional, aku harus menempuh perjalanan sekitar 45 menit menggunakan bus kota. Awalnya aku hanya mengunjungi perpustakaan itu di akhir pekan jika bahan bacaanku telah habis kubaca. Tapi belakangan ini, intensitasku mengunjungi perpustakaan menjadi lebih sering dibanding biasanya. Dan itu karena..., kau. Ya, kau.

gambar pinjam di sini


Pukul empat sore. Beberapa hari lalu hujan yang turun tidak pada musimnya mulai mengguyur sepanjang Salemba. Dan seperti beberapa kisah manga yang pernah kubaca, aku bertemu denganmu di bawah sebuah atap perpustakaan yang melindungi kita dari terpaan air hujan. Ini pertemuan paling mainstream yang pernah terjadi sepanjang sejarah namun aku tetap mengalaminya. Tentu kau tidak menyadarinya karena banyak orang yang berteduh sore itu, barangkali mereka―termasuk kita, tidak terlalu peduli dengan ramalan cuaca? Tapi aku bersyukur untuk hal itu. Aku tersenyum, merasa teduh. Di sela-sela kesibukanku mengamati ritme air hujan yang jatuh, diam-diam aku memperhatikanmu. Kau tampak serius melindungi buku-buku tebal di dalam jaket dan mendekapnya erat serupa mendekap sesuatu yang sangat berharga. Hingga kacamata yang kau pakai pun mulai terlihat berembun dan membuat matamu yang hitam mengerjap-erjap. Lucu. Kau terlihat gelisah dan berkali-kali melihat ke arah jam yang melingkar di tanganmu. Hujan memang kerapkali datang tanpa prediksi, barangkali itu yang sedang kau pikirkan. Tidak usah ambil pusing, aku hanya mencoba menerka-nerka sebab aku pun berpikir hal yang sama. Tapi aku berhutang budi pada hujan sore ini, dan barangkali kau merasa sebaliknya? Tentu saja, aku tidak bisa memaksa arah pikiran kita untuk tetap sejalan, bukan?

Entah apa yang membuatku tidak bisa mengalihkan tatapan untuk menangkap kegelisahan di matamu. Hingga akhirnya kau memutuskan untuk menerobos hujan yang telah menjelma riak-riak kecil itu. Air berkecipak membasahi sepatumu, jaketmu dan rambut lurusmu.


Dan sejak detik itu, sejak hujan yang menjelma gerimis itu mengaburkan sosokmu, aku sudah mengingatmu. 


Jakarta, July 2013