Hujan masih meninggalkan gerimis kecil-kecil ketika taksi yang kutumpangi berhenti tepat di pelataran parkir stasiun itu. Aku merapatkan sweater yang sejak tadi kukenakan, merapikan syal agar menutup leherku, kemudian berlalu ke peron dengan kecipak-kecipak air yang tertinggal di sepatuku. Jadwal keberangkatan kereta masih lima belas menit lagi. Namun aku memilih untuk datang lebih awal agar tidak terjebak dalam kemacetan Jakarta. Kabut pelan menyusup seperti kepulan asap kopi, mengirimkan hawa dingin yang seketika mampu membuatku meremang.
Aku duduk di sebuah kursi tunggu, memeriksa kembali tiket keretaku dan seketika mataku tertumbuk pada nama stasiun yang tertera di kertas biru laut itu.
Ah...

*

Lelaki itu berkacamata dan menyilangkan tangan di depan dada. Matanya layu dan memiliki lingkar kehitaman yang jelas terlihat. Tempat duduknya yang hanya berjarak dua depa di depanku membuatnya leluasa menatapku sedari tadi, sejak kami sama-sama menaiki kereta yang sama.

Sepeninggal Ayah, aku memutuskan untuk melepas semua kontrak kerja di Oslo dan memilih berkarir di Jakarta karena alasan-alasan tertentu. Seorang mantan rekan kerja Ayah yang mengenal baik keluarga kami merekomendasikanku untuk bergabung di perusahaan yang ia kelola. Singkat kata, aku menerima tawaran itu meski dengan terpaksa. Dan setahuku, lelaki itu adalah anggota baru yang resmi bergabung beberapa minggu yang lalu di perusahaan tempatku bekerja. Itu artinya kami bekerja di tempat yang sama.

Aku sendiri tidak mengingat namanya meski sebelumnya seorang rekan pernah memperkenalkan dia padaku saat jam makan siang. Di tempat kerja, dia terlihat aneh dan terkucilkan. Kerap kali melamun dan senang mengasingkan diri. Dia juga tidak banyak bicara.

Aku menutup bacaanku dan memilih mendengarkan musik lewat sepasang headset yang tersambung dari ponsel. Sungguh, membaca di dalam kereta jurusan Jakarta-Bogor di jam-jam pulang kerja itu bukanlah pilihan yang tepat.

Ia masih menatapku dengan sepasang matanya yang itu. Aku melempar pandang dan beruntung karena kereta berhenti tepat di stasiun tujuanku. Aku mempercepat langkahku, sementara hujan lebat membuat dinding-dinding stasiun bergemuruh.

Tanpa memedulikan apapun, aku menerobos hujan dengan sepatu hak tinggi yang membuatku nyaris terpeleset.

"Tunggu!"

"Anyelir, tunggu!"

Aku menoleh.. dan mendapati lelaki itu berlari mengejarku. Ia menutup kepalanya dengan lengan yang telah basah. Napasnya terengah saat sampai di dekatku dan kacamatanya penuh embun akibat hujan.

"Namamu Anyelir kan? Maaf, jika aku salah menyebut namamu. Aku tidak pandai mengingat nama orang," katanya dengan suara serak dan berat.

Dia mengingat namaku.

"Aku buru-buru," kataku, berusaha menghindarinya. Berusaha agar dia tidak terlampau jauh memantau. Ya, aku merasa dia memantauku. Agak berlebihan memang. Tapi apa namanya kalau bukan memantau?

"Kau meninggalkan ini di kereta." Dia lantas menyerahkan buku yang tadinya ingin kubaca di kereta. Astaga! Rupanya aku lupa memasukkan buku itu ke dalam tas.

"Jaga dirimu. Sampai ketemu besok."

Aku tidak mengucapkan apa-apa. Lelaki itu menyesap rokok yang tergamit di jarinya, kemudian berlalu bersama hujan yang menderas.

November, 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6