"Apa kau mengenal ayah?" Kata-kata itu terlontar begitu saja dari bibir Arne yang biru dan gemetar. Ia menatapku dengan selidik, mencoba mencari tahu jawaban dari pertanyaan yang ia karang sendiri. Dahinya yang sepucat pualam berkerut-kerut, membuatnya terlihat lebih tua dari usia aslinya.

Aku diam beberapa saat dan ia nampak frustasi. Disesapnya sedikit kopi yang tersedia di meja. Barangkali hanya itu yang membuatnya nampak hangat di tengah gigil dan kebekuan suasana yang tercipta. Ini sama sekali di luar dugaan. Melihat mata Arne yang hitam dan kuyu seperti membuka lagi masa lalu. Tentang gadis kecil yang kerapkali kudapati menyendiri di halaman belakang rumah dengan kuas-kuas bekas dan cat minyak juga serbuk-serbuk kayu.

Aku gila. Atau barangkali masa lalu yang memang membutakan? Benar-benar tak terpikir sebelumnya jika ia adalah salah satu penghuni masa laluku. Tidak, sebelum semua tumpah ruah secara bersama dalam satu waktu yang sama. Seperti hujan yang kemudian tumpah lantas membasahi kami. Masa lalu pun pada akhirnya membuat kami menggigil dengan pikiran masing-masing, mencipta kebekuan yang -bahkan, aku maupun Arne tidak mengerti bagaimana mengembalikan suasana senetral biasanya. Sebelum insiden pertemuan di makam ini terjadi.

"Aku tidak begitu mengenalnya," aku berbohong. Lebih tepatnya, aku begitu mengenal lelaki itu. Sangat mengenalnya bahkan.

Mata Arne semakin menyipit. "Bagaimana bisa kau ada di sini? Apa hubunganmu dengan Ayah?"

Aku tidak berani menatap matanya. Pun menyangkal kenyataan yang memang benar adanya. Aku mengenal lelaki yang disebut Ayah itu, dan menyangkal kenyataan itu semua adalah dusta yang menyakitkan. Aku diam. Sialnya, aku terlalu banyak meneguk kopiku hingga tak sadar jika cairan di dalam mug itu sudah tidak bersisa.

"Hanya kebetulan, Arn. Aku...," kata-kata ini seperti sebongkah batu beku. "Dia pelukis yang hebat. Aku mengagumi karyanya. Sebatas itu."
Sungguh, mata kuyu itu tak ubahnya sebilah belati yang kemudian menghunus dadaku. Sakit. Kebohongan ini menyakitkan.

Arne diam. Ia menopang dagunya, seperti mengabaikan kegugupanku meski aku tahu ia sangat mencurigai gelagatku. Ia membuang pandang ke luar jendela, mengamati butiran hujan yang membentuk uap-uap tipis yang memantulkan wajahnya. Matanya nanar, seperti ada lorong pekat yang membuatnya menggigil. Kesepian dan terasing. Sekejap, aku melihat pupilnya berkaca tanpa air mata. Ia tersenyum hambar dalam kebekuan.

"Arn..." kugenggam tangannya yang serupa bongkahan salju. Tangan yang pucat dan ringkih. Membuatnya terkesiap. "Aku turut berduka. Tapi percayalah... aku masih sahabatmu yang dulu. Kau tidak perlu merasa kesepian." Barangkali hanya itu yang bisa kukatakan untuk membuatnya sedikit merasa lebih baik.

Ia tersenyum lantas membalas genggaman tanganku. "Thanks Len. Aku hanya merasa bingung dengan ini semua," katanya.

Aku tahu.

Aku membiarkan kepalanya mendarat di dadaku. Ia terisak. Dan.bulir hangat itu pelan membasahi peegelangan tanganku. Rambut Arne yang basah dan lembab samar-samar beraroma cytrus. Aku mengelusnya. Dan dadaku merasa hangat meski ada sedikit sesak yang susah dijabarkan.

Selanjutnya, aku harus bertemu Pujia untuk membicarakan semuanya.

Jakarta, November 2012

Published with Blogger-droid v2.0.6