Andhini
oleh : Eros Rosita





Langit kelabu dan hujan belum turun saat wanita itu memutuskan untuk tetap tinggal dan menikmati beberapa sesapan kopi hasil buatan lelaki berambut gondrong itu. Namanya Wugi, penghuni masa lalu yang tiba-tiba menyelinap kembali ke dalam masa depan wanita itu. Di ujung malam, saat wanita itu masih sibuk dengan lembaran-lembaran kertas di meja kerja, Wugi memberanikan diri menelpon wanita itu dan menyuruhnya datang setelah sekian lama mereka tidak bertemu.

Wanita itu bernama Andhini. Berambut panjang lurus yang tergerai dan berkulit pucat seperti bulan yang muncul di tengah sinar matahari pagi. Saat Andhini datang, tidak ada yang berubah dari apa yang terakhir kali dia lihat. Lima tahun lalu. Meja bundar terbuat dari kayu jati berukiran sayap malaikat masih berada di sudut ruangan di dekat jendela lebar berkorden abu-abu kusam. Meja itu memang sengaja diletakkan di sudut itu karena Wugi tahu, Andhini menyukai senja. Dan Wugi tahu Andhini suka duduk berlama-lama di situ hanya untuk menikmati senja yang tenggelam saat jam pelan merangkak tepat pukul lima empat lima.

"Ada apa kau menyuruhku datang, Wugi? Apa ada sesuatu yang ingin kau bicarakan denganku?" Andhini membiarkan asap kopi mencumbu hidungnya yang mancung dan bertulang tegas. Sudah lama dia tidak mengirup kopi buatan Wugi yang telah menjadi favoritnya.


Wiguna. Tapi entah kenapa Andhini suka memanggilnya Wugi. Sejak dia datang, Wugi tidak banyak bicara. Lelaki itu bahkan terlihat berantakan. Rambutnya yang dulu terpotong rapi sekarang mulai panjang hingga melebihi bahu dan dikuncir sembarangan. Wajahnya terbakar matahari dengan bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar dagu serta bibirnya yang membiru. Jambangnya hampir membentuk pola garis yang menyatu di dagu.

Wugi menatap wanita itu dengan iris mata yang mulai kelabu. Sorot itu seperti memancarkan pengharapan yang sia-sia. Semacam keputusasaan dan Andhini tidak tahu, sejak kapan mata itu berubah begitu dingin. Jauh lebih dingin dari udara yang dibawa hujan, sore itu.

Rintik-rintik. Butiran hujan melarungkan senja samar yang terperangkap lewat kaca lebar itu.

Wugi tidak menjawab. Lelaki itu justru membangkitkan tubuhnya dari kursi goyang yang kerap mengeluarkan decit pilu. Tercium aroma cat minyak yang berasal dari tubuhnya. Aroma cat minyak yang bercampur dengan aroma ampo yang asing. Tapi Andhini menyukainya.

Mereka lupa bagaimana mereka bertemu. Tapi, sejak lima tahun lalu, Andhini suka datang ke tempat itu. Datang untuk menemani Wugi melukis atau sekedar menikmati kopi buatan Wugi yang dia sukai. Lantas mereka akan mengobrol tentang apa saja. Andhini yang mengagumi lukisan-lukisan Wugi. Andhini yang suka melihat pemandangan saat Wugi mengedarkan pandang untuk menelanjangi tubuhnya di atas kanvas. Saat itulah dia tidak bisa meyembunyikan perasaannya. Mata Wugi jauh terlihat menarik dan hidup. Itu adalah sorot mata yang dia abadikan diam-diam di dalam hatinya.

Gambar pinjam di sini.

Sejak dulu Wugi memang kerap menjadikannya model di setiap lukisan yang dia hasilkan. Hampir semua lukisan Wugi bercerita tentang dirinya. Dan hampir semua lukisan itu tergantung di setiap sudut ruangan yang Wugi desain sendiri. Wugi sengaja membiarkan lukisan-lukisan itu tepat pada posisi semula. Seperti saat pertama kali lukisan itu terpasang, lima tahun lalu.

Entah bagaimana lelaki itu bisa hidup dalam keadaan yang sama, yang stagnan. Selama lima tahun.

Andhini tidak mengerti.

“Aku akan menikah dua minggu lagi dengan pria yang kucintai.”

Wugi masih tidak bergeming. Langkah sendal jepitnya mulai terdengar lagi, menandakan bahwa lelaki itu tengah berjalan ke arah Andhini. Hujan masih turun, bahkan menjadi deras. Wanita itu menahan gigil, berkali-kali dia berusaha mengalirkan kehangatan sembari menggesek-gesekkan pergelangan tangannya. Dia menyesap kopi. Sesapan terakhir sebelum Wugi benar-benar datang membawa nampan berisi secangkir kopi baru dan aroma cat minyak yang membangkitkan kenangan di benak wanita itu. Kenangan lima tahun lalu.

Wugi kemudian mendekati wanita itu. Mendekapnya dalam diam yang syahdu. Mengalirkan kehangatan yang selama ini hilang entah kemana. Dan perlahan, sebuah bening menetes di dada Wugi. Wanita itu terisak dalam diam. Semakin terisak ketika Wugi mempererat pelukannya.

“Aku tidak suka kau melakukan ini, Wugi!” suara Andhini tertahan di tenggorokan. Dia melepas pelukannya. Dengan tergesa-gesa menghapus lumeran bening yang sudah mengacaukan bedak tipisnya.

“Aku tahu kenapa aku harus memberimu cangkir kedua. Minumlah, sebab aku tidak mungkin membubuhkan racun ke dalam kopimu yang akan membuat calon suamimu menangisi kematianmu.”

Dan segalanya berubah hening.

Andhini diam. Aroma kopi buatan Wugi mengur ke udara. Meski enak, kopi buatan Wugi bisa saja berubah menjadi racun yang sekejap saja bisa membuatnya terlempar ke masa lalu. Masa lima tahun silam.

Wugi tidak menatap Andhini, tapi justru wanita itulah yang menatap lekat ke dalam iris matanya. Matanya yang telah mati. Seperti ada lubang hitam yang menganga lebar di dalam pupil matanya yang sayu. Begitu dingin dan ngilu.

“Aku hanya perlu bertemu denganmu. Terakhir kali!” katanya dengan penekanan kata yang mengisyaratkan ketegasan. “Terakhir kali pula aku ingin mengabadikan matamu dalam lukisanku. Setelah itu kau tidak perlu mengingatku lagi.” Wugi melempar matanya ke luar jendela. Embun yang tercipta akibat hujan di kaca jendela kian tebal. Dan di sana, bayangan Andhini memantul sebagai masa lalu yang menyedihkan.

*

Wugi tahu, Andhini hanya mencintainya. Bahkan selamanya Andhini akan tetap mencintainya. Meski wanita itu berkata bahwa dia akan menikah dengan lelaki yang dia cintai, Wugi tetap percaya bahwa tidak ada lelaki lain yang bisa dicintai wanita itu melebihi cinta wanita itu kepada dirinya.

Lima tahun bukanlah waktu yang singkat untuk sekedar melukis kenangan. Dia telah membuktikannya dengan wanita itu. Lima tahun dalam kerahasiaan membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Sebuah hubungan diam-diam yang akhirnya membuat wanita itu harus rela menanggung semua beban.

“Aku bercerai dengan suamiku. Dia tahu aku mengandung anak orang lain,” Andhini mengelus perutnya yang mulai membesar. Itu adalah anak hasil hubungan diam-diam dengan Wugi. “Aku mencintai anak ini meski suamiku mengutuknya.”

Wugi menatapnya. Mendaratkan kecupan singkat di dahi wanita itu. Tapi semua itu tak lantas membuat air mata wanita itu menyusut. Justru semakin deras, seperti hujan yang kerap Wugi tadah dalam setiap tetesnya.

Itu dulu. Lima tahun lalu, sebelum akhirnya wanita itu memutuskan untuk menghapus semua kenangan dalam diam dan kemurungan. Sebagaimana apa yang selama ini Wugi lakukan, tapi selama itu pula dia tidak pernah berhasil melakukannya.

“Laki-laki. Sudah hampir lima tahun. Tampan sekali. Aku memberi nama Wiguna, agar kelak dia tidak kesulitan mengingat nama bapaknya.” kata-kata Andhini membuyarkan seluruh lamunan Wugi tentang dirinya. Ada binar yang tersembunyi dalam kilatan matanya. “Dia sudah mulai akrab dengan calon bapaknya.” Andhini menghirup nafas sejenak kemudian menatap Wugi dalam-dalam. “Dia mencintaiku, Wugi. Dan aku menyambut baik pernikahan ini.” Dia terus bercerita.

“Aku harap kau mencintainya,” suara Wugi datar, seperti ekspresinya sore itu. “Aku juga menyambut baik pernikahanmu. Sudah saatnya kita memulai segalanya dari nihil. Aku berjanji, setelah ini aku akan menghapus semuanya. Meski aku sendiri tidak yakin dengan apa yang kukatakan.”

Yang terdengar hanya gemericik air hujan. Saat Andhini membuka mata,  bibirnya telah menyatu pada bibir Wugi. Nafas Wugi beraroma rokok yang bercampur dengan aroma kopi.

*

Di sebuah sudut, di sebuah rumah yang tidak tampak asri, Wugi menyesap rokoknya dalam-dalam. Di sampingnya ada seorang wanita berkulit pucat dan berambut panjang tergerai. Aroma cat minyak bercampur dengan aroma kopi yang masih mengepulkan uap panas juga sisa-sisa ampo yang belum separuh kering. Hujan telah reda beberapa menit yang lalu dan berganti senja yang kemudian memantul lewat kaca lebar berkorden abu-abu kusam. Segalanya terasa cepat berlalu, bahkan lima tahun terlewati dengan musim yang entah sudah berapa kali berganti.

Tangan lelaki itu penuh bercak cat yang berwarna merah. Dia baru saja menyelesaikan sebuah lukisan dengan latar senja yang temaram, yang syahdu, yang merah, yang muram seperti dirinya. Itu adalah lukisan mata wanita yang dicintainya. Mata yang selama ini selalu menghantuinya sebagai wujud lain dari kenangan. Kenangan yang akhirnya tak cukup membuatnya mampu berderma setelah apa yang dikatakan wanita itu kepadanya beberapa menit silam.

Wanita itu tersenyum dalam diam. Ujung-ujung rambutnya tersapu angin. Dia begitu cantik dengan kulitnya yang sepucat bulan pagi dengan bulu mata lentik yang kini mengatup rapat. Segalanya berubah dingin dan hening. Wugi tersenyum. Dia mengambil merah yang masih tersisa di paletnya kemudian mengoleskan merah itu tepat di bibir wanita itu sebelum mengecupnya dalam-dalam.

Dia membopong wanita itu, mendudukkannya pada sebuah kursi tepat di dekat meja bundar berukiran sayap malaikat. Di atas meja itu sudah ada dua cangkir kopi yang masih mengepulkan uap panas.

“Bukankah kau suka menikmati senja dengan cara seperti ini?”

“Bukankah kau tahu aku tidak akan pernah bisa melepaskanmu?”

“Tidak ada yang mencintaimu lebih besar dari apa yang kulakukan, Andhini!”

Wugi bergeming seorang diri. Terisak dengan caranya sendiri. Dia lantas menatap Andhini yang membatu. Andhini yang malang. Andhini yang syahdu.

Wugi masih terisak. Menatap lumeran merah yang memenuhi tangannya, paletnya. Merah darah. Darah Andhini.

Dan entah kenapa senja sore itu kian terasa dingin.



Jakarta, 3 Juni 2012